Film ini mengisahkan Elliot, seorang pengacara, dan putrinya, Ridley, yang tanpa sengaja menabrak seekor unicorn dalam perjalanan menuju retret akhir pekan di estate mewah milik bos Elliot, Odell Leopold (Richard E. Grant). Kejadian ini menjadi titik awal petualangan yang kian rumit. Keluarga Leopold, yang dipimpin oleh Odell dan istrinya Belinda (Téa Leoni), menemukan bahwa unicorn memiliki DNA ajaib yang dapat digunakan untuk menciptakan obat keabadian. Ambisi dan keserakahan mereka memicu konflik, namun makhluk mitologi ini tidak tinggal diam. Unicorn yang haus darah melancarkan serangan balik, mengubah retret mewah menjadi medan pertempuran ala film slasher. Cerita ini dipenuhi sindiran tentang keserakahan manusia, eksploitasi alam, dan moralitas, dibalut dengan humor gelap yang khas.
Dari sisi teknis, Death of a Unicorn menonjol berkat sinematografi yang estetis, ciri khas A24. Pengambilan gambar menangkap keindahan alam Leopold Wilderness Reserve dengan apik, menciptakan kontras menarik antara ketenangan lanskap dan kekacauan cerita. Palet warna yang kaya dan pencahayaan dramatis memperkuat suasana horor fantasi, terutama pada adegan-adegan malam yang penuh ketegangan. Skor musik karya Dan Romer dan Giosuè Greco berhasil membangun atmosfer, meskipun tidak ikonik juga.
Pengeditan film terasa dinamis, terutama pada babak akhir yang penuh aksi. Namun, beberapa transisi terasa agak tersendat, membuat alur cerita sedikit terputus di bagian tengah. Efek visual untuk menggambarkan unicorn dan adegan gore cukup mengesankan untuk film dengan anggaran terbatas, meskipun beberapa efek CGI terlihat kurang mulus. Secara keseluruhan, aspek teknis ini mendukung visi artistik Scharfman, tetapi tidak sepenuhnya bebas dari kekurangan.
Salah satu kekuatan utama Death of a Unicorn adalah kemampuannya menggabungkan genre yang berbeda dengan mulus. Komedi gelap dalam dialog dan situasi absurd—seperti adegan keluarga kaya yang serius membahas eksploitasi unicorn—berhasil memancing tawa di tengah ketegangan. Akting para pemain, terutama Paul Rudd dan Jenna Ortega, menjadi sorotan. Rudd menghadirkan pesona khasnya sebagai ayah yang bimbang namun berusaha melindungi putrinya, sementara Ortega menampilkan Ridley dengan emosi yang kompleks, dari rasa ingin tahu hingga ketakutan. Chemistry mereka terasa alami, memperkuat hubungan ayah-anak yang menjadi inti emosional film.
Sindiran sosial tentang keserakahan dan eksploitasi alam juga menjadi nilai tambah. Film ini mengkritik bagaimana manusia sering kali mengorbankan etika demi keuntungan, sebuah tema yang relevan di era modern. Adegan klimaks, di mana unicorn berbalik menyerang, terasa memuaskan dan penuh ketegangan, mengingatkan pada film monster klasik seperti Jurassic Park. Durasi yang tidak terlalu panjang juga membuat film ini terasa padat dan tidak bertele-tele.
Meski memiliki banyak kelebihan, film ini tidak luput dari kekurangan. Salah satu kelemahan utama adalah pengembangan karakter yang kurang mendalam, terutama untuk karakter pendukung seperti keluarga Leopold. Meskipun Richard E. Grant dan Téa Leoni tampil solid, karakternya terasa seperti karikatur tanpa latar belakang yang kuat. Begitu pula dengan Will Poulter sebagai Shepard, yang potensinya kurang dimanfaatkan karena naskah tidak memberikan ruang untuk eksplorasi lebih jauh.
Bagian emosional, terutama hubungan antara Elliot dan Ridley, juga terasa kurang tergali. Naskah mencoba menyisipkan luka batin mereka, tetapi tema ini hanya disentuh sekilas tanpa penyelesaian yang memuaskan. Alur cerita di babak tengah terasa lambat, dengan beberapa adegan yang terkesan filler dan mengurangi momentum. Selain itu, meskipun sindiran sosialnya tajam, pesan tersebut kadang terasa terlalu gamblang, sehingga mengurangi kedalaman narasi. Bagi penonton yang mengharapkan horor yang lebih intens atau komedi yang lebih konsisten, film ini mungkin terasa setengah-setengah.
Death of a Unicorn adalah film yang berani bereksperimen dengan genre dan tema, menghadirkan pengalaman yang menghibur sekaligus menggugah pemikiran. Keberhasilan film ini terletak pada chemistry pemeran utama, sinematografi estetis, dan sindiran sosial yang relevan. Namun, kekurangan dalam pengembangan karakter dan alur yang tidak konsisten membuatnya tidak mencapai potensi maksimal. Film ini layak ditonton bagi penggemar komedi gelap dan horor fantasi yang tidak keberatan dengan narasi yang sedikit goyah. Bagi yang mencari pengalaman sinematik yang berbeda, film ini menawarkan petualangan absurd yang cukup memorable.
Rate: 6,5/10
Informasi Tambahan
- Sutradara: Alex Scharfman
- Pemeran: Paul Rudd, Jenna Ortega, Will Poulter, Richard E. Grant, Téa Leoni
- Durasi: 107 menit
- Genre: Komedi Gelap, Horor Fantasi, Thriller
- Rating: R (Dewasa)
- Platform: Bioskop, Prime Video
Tautan Terkait:
Tonton di Prime Video
Situs Resmi A24
Komentar
Posting Komentar