Yolo (2024) adalah sebuah film yang tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga menggugah emosi dengan tema-tema yang mendalam dan relevan. Film ini digarap dengan sangat apik oleh Jia Ling, yang juga berperan sebagai tokoh utama, Du Leying. Sejak awal, saya merasa terhubung dengan karakter ini yang digambarkan sebagai seorang wanita yang sedang berjuang melawan dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Film ini dibuka dengan gambaran kehidupan Du Leying yang penuh dengan kekecewaan dan stagnasi. Setelah sepuluh tahun menganggur dan tinggal bersama keluarganya, ia tampak tidak memiliki tujuan hidup. Penampilan awal Leying yang tampak kusam dan depresi berhasil membuat saya merasakan betapa beratnya beban mental yang ia tanggung. Jia Ling, dengan penampilannya yang berubah drastis, benar-benar mampu menyampaikan kerentanan dan kepedihan yang dialami Leying.
Namun, apa yang membuat Yolo begitu memikat adalah perjalanan transformasi yang dialami Leying. Setelah menghadapi pengkhianatan dari sahabatnya sendiri dan pacarnya, Leying menemukan dirinya tertarik pada dunia tinju. Pertemuan tak terduga dengan seorang mantan petinju, Hao Kun, menjadi titik balik dalam hidupnya. Dari sinilah film ini benar-benar menunjukkan kekuatannya, tidak hanya sebagai drama olahraga tetapi juga sebagai studi karakter yang mendalam.
Salah satu aspek yang paling saya hargai dari Yolo adalah cara film ini menggali isu-isu kompleks seperti citra tubuh dan dampak psikologisnya. Leying yang awalnya merasa terjebak dalam tubuh dan hidupnya sendiri, perlahan-lahan mulai memahami bahwa perubahan terbesar yang perlu ia lakukan bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Adegan latihan tinju, yang diiringi oleh musik klasik "Gonna Fly Now", berhasil menggabungkan elemen emosional dengan aksi yang memacu adrenalin.
Meskipun Yolo menawarkan banyak momen yang menginspirasi, film ini juga tidak luput dari kekurangannya. Salah satu kritik saya adalah durasi film yang terasa terlalu panjang di bagian tengah. Beberapa adegan, terutama yang berhubungan dengan acara TV, terasa kurang relevan dan bisa dipangkas tanpa mengurangi esensi cerita. Namun, hal ini tidak terlalu mengganggu keseluruhan pengalaman menonton karena kekuatan cerita dan akting yang kuat dari para pemeran.
Yang menarik, Yolo juga menyajikan kritik sosial yang tajam terhadap pandangan misoginis dalam masyarakat Tiongkok modern; atau masyarakat pada umumnya. Leying harus menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan pelecehan, baik dari lingkungan kerja maupun keluarganya sendiri. Melalui karakter Leying, Jia Ling berhasil menyoroti betapa sulitnya bagi seorang wanita untuk melawan stereotip dan harapan sosial yang memberatkan.
Sebagai seorang penonton, saya merasa sangat terinspirasi oleh perjalanan Leying. Bukan hanya karena perjuangannya untuk menjadi petinju, tetapi juga karena keberaniannya untuk melawan sistem yang sering kali tidak adil terhadap wanita. Film ini, dengan segala emosinya, mampu menyentuh hati dan pikiran, mengajak kita untuk merenungkan arti sebenarnya dari keberanian dan penerimaan diri.
Secara keseluruhan, Yolo adalah sebuah film yang berhasil memadukan drama, aksi, dan kritik sosial dengan sangat baik. Meskipun ada beberapa kelemahan, film ini tetap layak ditonton karena pesan-pesan kuat yang disampaikan serta penampilan luar biasa dari Jia Ling dan para pemeran lainnya. Jika Anda mencari film yang bisa memberikan inspirasi dan pemahaman baru tentang diri sendiri, Yolo adalah pilihan yang tepat.
FYI, Judul YOLO merupakan singkatan dari "You Only Live Once,". Frasa ini populer sebagai ajakan untuk menikmati hidup, mengambil risiko, dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada karena hidup hanya terjadi sekali. Dalam konteks film ini, judul ini merefleksikan perjalanan karakter utama, Du Leying, yang berusaha untuk mengubah hidupnya setelah menghadapi berbagai kesulitan, seolah-olah dia menyadari bahwa hidupnya harus dihidupi dengan penuh makna dan keberanian.
Rate: 8+/10
Komentar
Posting Komentar