Langsung ke konten utama

Ulasan Film The Old Guard 2 (2025): Aksi yang Tersandung Narasi Hambar


The Old Guard 2, sekuel dari film aksi superhero populer tahun 2020, hadir di Netflix pada 2 Juli 2025, dengan ekspektasi tinggi dari penggemar. Dibintangi kembali oleh Charlize Theron sebagai Andy, film ini melanjutkan kisah sekelompok prajurit abadi yang berjuang melindungi dunia. Namun, meskipun menawarkan aksi yang cukup menghibur dan visual yang memukau, menurut kami sekuel ini gagal mempertahankan energi dan kedalaman emosional pendahulunya. 

The Old Guard 2 mengisahkan Andy (Charlize Theron), pemimpin tim prajurit abadi, yang kini menghadapi krisis eksistensial setelah kehilangan keabadiannya. Bersama Nile (KiKi Layne), Joe (Marwan Kenzari), Nicky (Luca Marinelli), dan Copley (Chiwetel Ejiofor), Andy berhadapan dengan ancaman baru dari Quynh (Veronica Ngo), sahabat lamanya yang kembali dengan dendam setelah terperangkap selama berabad-abad di dasar laut. Karakter baru seperti Tuah (Henry Golding) dan Discord (Uma Thurman) memperumit dinamika tim, sementara plot berfokus pada misi global untuk menghentikan ancaman terhadap rahasia keabadian mereka. Namun, narasi yang berpotensi emosional ini tersandung oleh alur yang berbelit dan kurangnya fokus.

Salah satu kekuatan utama The Old Guard 2 adalah aspek visualnya. Disutradarai oleh Victoria Mahoney, film ini menampilkan sinematografi yang indah, terutama pada adegan-adegan aksi awal di lokasi seperti Italia dan Asia. Pengambilan gambar di Bergamo, Italia, dan adegan malam di Jakarta, termasuk Bundaran HI, memberikan latar yang kaya. Adegan pertarungan antara Andy dan Quynh di gang sempit, dengan koreografi yang penuh emosi, menjadi sorotan karena menggabungkan intensitas fisik dan simbolisme masa lalu yang kelam.

Charlize Theron sekali lagi membuktikan dirinya sebagai bintang aksi yang karismatik. Perannya sebagai Andy, yang kini rentan setelah kehilangan keabadian, membawa lapisan kerapuhan yang menarik. Theron mampu menyampaikan beban emosional seorang prajurit berusia ribuan tahun dengan tatapan dan gestur yang kuat, meskipun naskah tidak selalu mendukungnya. Kehadiran aktor pendukung seperti Uma Thurman sebagai Discord juga menambah daya tarik, meskipun karakternya kurang tergali.

Skala produksi yang ambisius juga patut diacungi jempol. Lokasi syuting yang beragam, dari Eropa hingga Asia, menciptakan nuansa epik. Efek visual, terutama pada adegan regenerasi tubuh para prajurit abadi, terlihat mulus dan memperkuat premis fantasi film ini.

Sayangnya, The Old Guard 2 tersandung pada narasi yang lemah. Naskah karya Greg Rucka dan Sarah L. Walker terasa klise, penuh dengan dialog ekspositori yang membingungkan dan subplot yang tidak relevan. Tema keabadian, yang menjadi kekuatan film pertama, tidak dieksplorasi secara mendalam. Alih-alih menggali dilema emosional Andy sebagai manusia biasa atau trauma Quynh setelah pengasingan, film ini terjebak pada misi global yang terasa seperti rangkaian aksi tanpa tujuan jelas. Plot twist, seperti keterlibatan Discord dengan rencana nuklir, terasa dipaksakan dan kurang meyakinkan.

Adegan aksi, meskipun awalnya menjanjikan, menjadi repetitif dan kehilangan inovasi. Koreografi pertarungan, yang seharusnya menjadi tulang punggung film ini, terasa standar dibandingkan dengan film pertama yang memiliki momen ikonik seperti serangan di pesawat. Karakter pendukung seperti Nile dan Copley nyaris tidak mendapatkan ruang untuk berkembang, membuat mereka terasa seperti tempelan. Penampilan Henry Golding sebagai Tuah menjanjikan, tetapi karakternya kurang mendapatkan porsi cerita yang memadai.

Durasi 1 jam 47 menit terasa berlarut-larut karena tempo yang lambat dan kurangnya resolusi naratif. Film ini diakhiri dengan cliffhanger yang terasa seperti pengulangan formula film pertama, meninggalkan kesan bahwa cerita ini lebih merupakan pengantar untuk sekuel berikutnya ketimbang sebuah kisah yang utuh.

Dari segi teknis, sinematografi oleh Barry Ackroyd adalah salah satu elemen terbaik. Penggunaan pencahayaan dramatis dan sudut kamera yang dinamis menghidupkan adegan aksi dan latar kota-kota besar. Namun, editing film ini kurang konsisten, terutama pada transisi antar lokasi yang terasa tiba-tiba dan memutus alur emosional. Musik latar juga tidak begitu memorable, gagal memberikan dorongan emosional pada momen-momen kunci.

Penggunaan efek visual untuk adegan regenerasi dan pertarungan cukup baik, tetapi beberapa efek CGI, seperti pada adegan ledakan atau fasilitas nuklir fiktif di Serpong, terasa kurang realistis. Hal ini sedikit mengganggu imersi, terutama bagi penonton yang mengharapkan kualitas produksi setara dengan film pertama.

The Old Guard 2 adalah sekuel yang penuh potensi tetapi gagal memenuhi ekspektasi. Kelebihan film ini terletak pada performa Charlize Theron, sinematografi yang memukau, dan ambisi produksi yang besar. Namun, kekurangan seperti naskah yang lemah, aksi yang repetitif, dan kurangnya pengembangan karakter membuat film ini terasa hambar dibandingkan pendahulunya. Bagi penggemar film aksi yang tidak keberatan dengan narasi yang berantakan, film ini masih bisa dinikmati untuk visual dan beberapa momen pertarungan yang solid. Namun, bagi yang mengharapkan kedalaman emosional dan cerita yang kohesif, The Old Guard 2 mungkin terasa seperti langkah mundur.

The Old Guard 2 mencoba memperluas dunia prajurit abadi dengan konflik yang lebih kelam, tetapi kehilangan pesona yang membuat film pertama begitu disukai. Meskipun Charlize Theron dan visual yang apik menjadi daya tarik, narasi yang berantakan dan aksi yang kurang inovatif membuat film ini hanya layak mendapat kritikan. Jika Anda penggemar film pertama, bersiaplah untuk kecewa, meski film ini tetap menawarkan hiburan ringan untuk penggemar aksi superhero.

Rate: 5/10

Tonton di Netflix: The Old Guard 2

Komentar