Ulasan Film A Normal Woman (2025): Menyelami Trauma di Balik Kesempurnaan


Film A Normal Woman (2025), yang tayang di Netflix pada 24 Juli 2025, membawa kita ke dalam kehidupan Milla, seorang sosialita Jakarta yang tampak sempurna namun bergulat dengan kegelisahan batin. Disutradarai oleh Lucky Kuswandi dan ditulis bersama Andri Cung, film ini menghadirkan drama psikologis dengan nuansa thriller yang berusaha mengupas lapisan emosi perempuan modern. 

Milla (Marissa Anita) adalah perempuan yang hidup dalam kemewahan. Bersama suami suksesnya, Jonathan (Dion Wiyoko), dan putrinya, Angel (Mima Shafa), Milla tampak seperti perwujudan “wanita sempurna” di mata masyarakat. Namun, di balik gemerlapnya, ia menyimpan trauma yang perlahan muncul melalui gejala fisik misterius: ruam, gatal ekstrem, hingga halusinasi. Tekanan sosial, ekspektasi sebagai istri dan ibu, serta luka masa lalu membuatnya mempertanyakan jati dirinya. Perjalanan Milla untuk memahami “penyakit” ini menjadi inti cerita, mengajak penonton merenungi bagaimana tubuh dan jiwa bereaksi terhadap beban yang tak terucap.

Satu hal yang langsung mencuri perhatian adalah akting Marissa Anita sebagai Milla. Ia berhasil menghidupkan karakter yang rapuh namun berusaha tegar, dengan ekspresi yang mampu menyampaikan kegelisahan tanpa perlu dialog berlebihan. Setiap tatapan dan gerakan kecilnya terasa autentik, seolah kita sedang menyaksikan perempuan nyata yang terjebak dalam tekanan sosial. Chemistry antara Milla dan karakter lain, seperti ibu mertuanya, Liliana (Widyawati), juga terasa kuat, menambah bobot pada konflik antargenerasi yang diusung film ini.

Secara teknis, A Normal Woman menawarkan visual yang elegan. Sinematografi film ini memanjakan mata dengan palet warna yang lembut namun mencekam, mencerminkan dualitas antara kehidupan glamour Milla dan kekacauan batinnya. Pengambilan gambar close-up pada wajah Milla saat ia mengalami gejala fisik berhasil membangun ketegangan, membuat penonton ikut merasakan ketidaknyamanannya. Musik latar yang minimalis namun penuh emosi juga mendukung suasana psikologis yang kental, terutama pada adegan-adegan intens seperti saat Milla berhadapan dengan halusinasinya.

Tema yang diangkat—kesehatan mental, tekanan sosial, dan pencarian jati diri—sangat relevan, terutama bagi perempuan modern yang sering dihadapkan pada ekspektasi untuk “sempurna.” Film ini berani menyentuh isu-isu seperti relasi toksik dalam keluarga dan standar kecantikan yang tidak realistis, yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Meski punya premis yang menjanjikan, eksekusi cerita A Normal Woman terasa kurang konsisten. Salah satu kelemahan utama adalah twist di pertengahan film yang seperti terlalu cepat dibuka. Selain itu, keinginan Milla untuk “bebas” dari tekanan hidupnya memang menjadi inti cerita, tetapi cara keinginan ini disampaikan terasa kurang tergali. Padahal, kebebasan yang ia cari sudah dipendam sejak kecil, namun maknanya tidak dieksplorasi dengan baik. Menurut saya, hal ini mengurangi kekuatan ide cerita yang sebenarnya sangat potensial. Jika naskah memilih jalur lain—misalnya, menjadikan Milla sosok yang terobsesi dengan kecantikan—maka twist yang tercipta bisa menjadi pukulan emosional yang lebih kuat, bukan sekadar diungkap di tengah cerita dengan penyelesaian yang terasa… khas film Indonesia, kurang memuaskan, terburu-buru dan terasa absurd.

Fokus cerita yang terlalu berat pada Milla membuat karakter lain, seperti Jonathan dan Erika (Gisella Anastasia), terasa datar. Motivasi mereka hanya terasa di permukaan, dan beberapa transisi emosi antarkarakter terasa dipaksakan, seperti lompatan dari ketegangan ke drama yang mendadak melodramatis. Durasi 110 menit sebenarnya cukup untuk mengembangkan karakter pendukung, tetapi banyak subplot, seperti hubungan Milla dengan ibunya, Novi (Maya Hasan), yang terasa hanya numpang lewat tanpa penyelesaian yang mendalam.

A Normal Woman adalah film yang punya ambisi besar untuk menyampaikan pesan tentang kesehatan mental dan tekanan sosial, tetapi terhambat oleh eksekusi yang kurang matang. Bagi pecinta drama psikologis yang menikmati cerita emosional dengan visual estetik, film ini tetap layak masuk daftar tontonan. Namun, jika kamu mengharapkan plot twist yang menohok, mungkin kamu akan sedikit kecewa.

Film ini cocok untuk kamu yang ingin merenungi kompleksitas kehidupan perempuan modern, terutama yang merasa tertekan oleh ekspektasi masyarakat. Siapkan camilan, karena perjalanan Milla akan membawamu naik turun dalam pusaran emosi yang intens. Meski tidak sempurna, A Normal Woman berhasil membuka diskusi tentang isu yang sering terabaikan, dan itu sudah menjadi poin plus tersendiri.

A Normal Woman adalah cerminan rapuhnya jiwa di balik topeng kesempurnaan. Akting Marissa Anita dan visual yang memukau menjadi kekuatan utama, tetapi plot yang tersandung dan twist yang kurang tergarap membuatnya tidak mencapai potensi penuh. Jika kamu suka film yang mengajak berpikir dan merasakan, film ini patut dicoba. Tapi, jangan terlalu berharap pada penyelesaian yang memuaskan.

Rate: 6,5 / 10

Komentar