Ulasan Film Superman (2025): Sebuah Kebangkitan yang Penuh Hati

Sebagai pahlawan yang mengawali genre superhero modern, Superman selalu memiliki beban yang berat di setiap penampilan layarnya. Film terbaru garapan James Gunn ini hadir dengan misi yang tidak mudah: menghidupkan kembali semangat optimisme di tengah kelelahan penonton terhadap film-film pahlawan bertema gelap. Dan harus diakui, upaya ini berhasil, meski dengan beberapa catatan penting.

Kekuatan terbesar film ini terletak pada karakterisasi Superman yang dibawakan oleh David Corenswet. Berbeda dengan pendahulunya, Henry Cavill, yang memancarkan aura dewa yang perkasa, Corenswet justru menghadirkan Superman yang mudah didekati dan manusiawi. Kharismanya bukan terletak pada kesempurnaannya, melainkan pada kerentanannya. Adegan di mana ia terluka dan dengan polosnya bergumam "Ya ampun" setelah pertarungan sengit berhasil menangkap esensi karakter ini dengan cemerlang .

Film ini dengan sengaja menghindari pengulangan origin story yang sudah terlalu familiar. Alih-alih memulai dari planet Krypton yang hancur, kita langsung diterjunkan ke dunia di mana Superman sudah menjadi bagian dari kehidupan Metropolis. Pendekatan ini, meski efisien, juga menjadi salah satu titik kelemahan. Pada dasarnya saya kurang bisa menikmati film yang dimulai dari tengah-tengah konflik. Superman garapan James Gunn ini lebih cocok jadi film kedua ketimbang film pertama dari sebuah reboot dengan bintang-bintang yang juga baru. Ini membuatnya terasa seperti kita melewatkan babak penting dalam perjalanan emosional kita untuk benar-benar mengenal dan melekat dengan versi Clark Kent yang satu ini. Well, ni jelas opini pribadi, jika pendapat Anda berbeda, maka sah-sah saja.

Chemistry antara Corenswet dan Rachel Brosnahan (Lois Lane) adalah nyawa dari film ini. Interaksi mereka terasa otentik dan segar. Adegan sederhana di mana Clark memasakkan makanan untuk Lois untuk merayakan hari jadi tiga bulan mereka, lalu disusul dengan wawancara Lois kepada Superman yang penuh ketegangan intelektual, adalah momen-momen terbaik dalam film . Brosnahan berhasil membawakan Lois Lane yang cerdas, tajam, dan tidak perlu diselamatkan—sebuah interpretasi yang paling memukau sejak era Margot Kidder .

Di sisi lain, Nicholas Hoult memerankan Lex Luthor dengan nuansa baru yang menarik. Dia adalah Lex Luthor yang mirip dengan figur pengusaha teknologi seperti Elon Musk—dingin, calculating, dan obsesif. Sayangnya, potensi besar Hoult sedikit terbatasi oleh penulisan karakter yang kurang mendalam. Luthor digambarkan lebih sebagai sosok sosiopat yang jahat karena kebencian, tanpa eksplorasi motif psikologis yang lebih kompleks. Yah, walaupun dengan rating film ini, sebenarnya sudah cukup pas.

Dari segi teknis, film ini adalah sebuah tontonan yang memukau. Sinematografi Henry Braham dinamis, sementara desain produksi Beth Mickle berhasil menciptakan dunia yang terasa hidup dan magis. Adegan-adegan terbang Superman digambarkan sebagai pengalaman yang memacu adrenalin, penuh dengan hembusan angin yang seakan bisa kita rasakan .

Namun, di tengah semua kehebatan visualnya, ada rasa familiar yang kuat. Sejumlah urutan pertempuran dan elemen "Gods and Monsters" terasa seperti sisa-sisa dari film Guardians of the Galaxy karya Gunn, dan tidak selalu cocok dengan dunia Superman. Film ini penuh dengan aksi, dari Superman yang terbang hingga pertarungan melawan kaiju raksasa, namun terkadang semuanya terasa terlalu penuh, bahkan membingungkan di beberapa bagian.

Salah satu keputusan terbaik Gunn adalah membawa kembali semangat "kuno" yang justru menjadi kekuatan Superman. Musik pop-punk yang dianggap biasa saja oleh Lois, celana dalam merah yang dengan bangga dikenakan, dan kesungguhan Superman dalam memperjuangkan kebaikan—semua elemen "norak" ini justru merupakan pernyataan sikap. Di era di mana superhero dibebani oleh trauma dan penebusan dosa, Superman Gunn hadir sebagai penyeimbang: lebih sederhana, lebih terang, dan lebih menyenangkan.

John Murphy dan David Fleming menyusun skor musik yang galvanis, dengan orkestra dan synth yang membawakan tema klasik John Williams, memberi sentuhan nostalgia yang mengharukan.

Di balik semua kelebihannya, film ini memiliki beberapa kelemahan yang cukup mencolok. Pertama, pengembangan karakter yang tidak merata. Meskipun Corenswet dan Brosnahan bersinar, karakter pendukung seperti Green Lantern (Nathan Fillion) dan Hawkgirl (Isabela Merced) seringkali hanya menjadi pelengkap untuk humor dan aksi, tanpa kedalaman yang memadai .

Kedua, tone film yang terkadang tidak konsisten. Meskipun sebagian besar film mempertahankan nada yang cerah dan optimis, ada momen-momen kekerasan yang mengejutkan dan terasa tidak sesuai dengan nuansa keseluruhan film . Selain itu, meski humor khas Gunn hadir, beberapa dialog terasa kikuk dan meninggalkan kesan "cingy" yang mengganggu .

Terakhir, meski konsepnya menarik, penghindaran dari origin story membuat dasar emosional film terasa kurang kokoh. Kita tidak diberi cukup waktu untuk menyaksikan pergulatan batin Clark Kent yang sebenarnya sebelum ia menjadi simbol yang diakui publik.

Superman (2025) adalah film yang layak ditonton. Ia bukanlah masterpiece tanpa cacat, namun ia adalah film yang memiliki hati. Film ini berhasil mengembalikan sifat-sifat fundamental Superman: ketulusan, tekad baja, dan keyakinan pada kebaikan manusia.

Kekurangan film ini, seperti alur yang terkadang berantakan, diimbangi oleh performa pemeran utama yang luar biasa dan visi optimisme yang tulus. Film ini mungkin lebih cocok sebagai film kedua, tetapi ia tetap berhasil meletakkan fondasi yang kuat untuk masa depan DCU.

Di dunia yang terasa semakin sinis dan terpecah, pesan sederhana Superman tentang belas kasih dan melakukan hal yang benar karena itu benar, terasa lebih relevan dari sebelumnya. Film ini mengingatkan kita bahwa ada harapan, dan terkadang, yang kita butuhkan hanyalah pengingat untuk "melakukan kebaikan! Untuk, kau tahu... kebaikan!"

Rating: 7,5/10

Komentar