Langsung ke konten utama

Ulasan Film The Ugly Stepsister (2025): Kisah Gelap Cinderella yang Penuh Darah

Poster Film The Ugly Stepsister (2025)

Film The Ugly Stepsister (2025) menghadirkan reinterpretasi yang jauh dari cerita manis Cinderella ala Disney. Disutradarai oleh Emilie Blichfeldt, film ini mengambil perspektif saudara tiri yang sering dianggap "jahat" dan "jelek" dalam dongeng klasik. Dengan genre body horror bercampur komedi gelap, film ini menawarkan pengalaman sinematik yang mengganggu sekaligus memikat. Berlatar di kerajaan abad ke-19, cerita berfokus pada Elvira, seorang gadis yang terobsesi menjadi cantik demi memikat Pangeran Julian.

Film ini mengikuti Elvira (Lea Myren), seorang gadis canggung dengan penampilan yang dianggap tidak memenuhi standar kecantikan masyarakat saat itu. Bersama ibunya, Rebekka (Ane Dahl Torp), dan adiknya, Alma (Flo Fagerli), Elvira pindah ke kediaman Otto, seorang bangsawan duda yang memiliki anak perempuan cantik, Agnes (Thea Sofie Loch Næss), yang menjadi "Cinderella" dalam cerita ini. Harapan Rebekka untuk hidup mewah pupus ketika Otto meninggal di malam pernikahan tanpa meninggalkan kekayaan. Demi mempertahankan status sosial, Rebekka memaksa Elvira untuk menarik perhatian Pangeran Julian (Isac Calmroth) dengan cara-cara ekstrem, termasuk prosedur kecantikan mengerikan seperti operasi plastik primitif dan diet cacing pita. Kisah ini bukan tentang kemenangan cinta, melainkan tentang luka fisik dan psikologis akibat tekanan sosial yang kejam.

Secara teknis, The Ugly Stepsister menonjol dalam beberapa aspek. Sinematografi oleh Marcel Zyskind menghadirkan visual yang memukau namun kelam, dengan palet warna dingin yang mencerminkan suasana suram kerajaan abad ke-19. Penggunaan pencahayaan dramatis dan close-up pada wajah Elvira saat menjalani prosedur kecantikan yang mengerikan berhasil membangun ketegangan sekaligus rasa tidak nyaman. Desain produksi, mulai dari kostum mewah hingga interior rumah besar yang sepi, memperkuat atmosfer gothic-modern yang menjadi salah satu daya tarik film ini.

Musik latar karya komponis Norwegia memperpadukan nada-nada klasik dengan elemen unsettling, mendukung nuansa horor tanpa mengandalkan jump scare. Pengeditan film terasa cukup rapi, meskipun beberapa adegan terasa berlarut-larut, terutama menjelang klimaks. Efek visual dan praktis untuk adegan body horror—seperti pemotongan jari kaki atau jahitan bulu mata—dikerjakan dengan detail yang mengerikan namun realistis, membuat penonton merinding sekaligus terpukau.

Salah satu kekuatan utama film ini adalah kritik sosialnya terhadap standar kecantikan yang tidak realistis. Elvira bukan sekadar karakter antagonis seperti dalam dongeng asli, melainkan korban tekanan sosial dan ambisi ibunya. Transformasi fisiknya yang ekstrem—dari menelan cacing pita hingga memotong jari kaki agar muat di sepatu kaca—menjadi simbol kuat tentang bagaimana masyarakat sering kali menilai perempuan hanya dari penampilan luar. Pesan ini disampaikan tanpa terasa menggurui, berkat pengemasan dalam genre horor yang intens.

Salah satu adegan dalam Film The Ugly Stepsister (2025)

Performa akting Lea Myren sebagai Elvira patut diacungi jempol. Ia berhasil memerankan karakter yang rapuh namun penuh ambisi, dengan ekspresi wajah yang mencerminkan penderitaan batin dan fisik. Ane Dahl Torp sebagai Rebekka juga tampil memukau sebagai ibu yang manipulatif, sementara Thea Sofie Loch Næss sebagai Agnes menghadirkan kontras sebagai "Cinderella" yang sempurna namun misterius. Chemistry antar karakter, terutama antara Elvira dan Rebekka, memperkuat dinamika keluarga yang disfungsional.

Meski memiliki premis yang kuat, film ini tidak luput dari kekurangan. Beberapa bagian cerita terasa lambat, terutama di awal cerita. Durasi 1 jam 50 menit terasa sedikit panjang karena ritme narasi yang tidak konsisten. Selain itu, karakter Pangeran Julian kurang digali secara mendalam, membuatnya terasa seperti alat plot ketimbang karakter yang utuh. Beberapa penonton mungkin juga merasa elemen komedi gelap kurang menyatu dengan nada horor yang dominan, sehingga terasa sedikit kurang 'klik' di beberapa momen.

Dibandingkan dengan film bertema serupa seperti The Substance, The Ugly Stepsister terasa kurang mendalam dalam mengeksplorasi psikologi karakternya. Meski kritik sosialnya tajam, film ini kadang terlalu fokus pada aspek visual horor sehingga mengorbankan pengembangan emosional karakter sekunder seperti Alma dan Agnes. Bahkan, adegan fantasi yang dialami Cinderella cukup mengganggu mengingat film ini mencoba se-realistis mungkin sejak awal.

The Ugly Stepsister adalah film yang berani dan provokatif, namun tidak sempurna. Film ini berhasil menghadirkan reinterpretasi Cinderella yang segar dengan balutan body horror dan kritik sosial yang relevan. Visual yang memukau dan akting yang kuat menjadi nilai jual utama, meskipun ritme narasi yang lambat dan pengembangan karakter yang kurang merata sedikit mengurangi dampaknya. Bagi penggemar horor psikologis dan cerita dongeng dengan twist kelam, film ini layak ditonton untuk pengalaman sinematik yang mengganggu sekaligus menggugah pikiran.

The Ugly Stepsister (2025) bukan sekadar film horor, tetapi juga cerminan gelap tentang bagaimana masyarakat memandang kecantikan sebagai komoditas. Dengan pendekatan yang berani dan visual yang memikat, film ini mengajak penonton untuk merenungkan harga diri dan tekanan sosial yang dihadapi perempuan. Meski memiliki beberapa kekurangan, seperti ritme yang tersendat dan karakter yang kurang tergali, film ini tetap menjadi tontonan yang unik dan layak masuk daftar tonton bagi pecinta genre horor dan drama psikologis.

Jika Anda ingin menyaksikan kisah Cinderella yang jauh dari romansa manis dan penuh dengan darah serta refleksi, The Ugly Stepsister bisa menjadi pilihan yang tepat.

Rate: 7/10

Jika Anda kebetulan melupakan atau melewatkan apa arti rating yang kami berikan, Anda bisa membacanya lagi di sini.

Komentar