Langsung ke konten utama

Ulasan Film 28 Years Later (2025): Horor Emosional yang Mengguncang Jiwa


Bayangkan dunia yang hancur, di mana virus mematikan telah mengubah manusia menjadi monster haus darah. Dua puluh delapan tahun setelah wabah Rage pertama kali mengguncang Inggris dalam 28 Days Later, kini 28 Years Later (2025) hadir dengan kisah yang lebih kelam, personal, dan penuh makna. Disutradarai oleh Danny Boyle dan ditulis oleh Alex Garland, film ini membawa kita kembali ke dunia pasca-apokaliptik yang penuh ketegangan, namun kali ini dengan sentuhan drama keluarga yang menyentuh. 

28 Years Later berlatar di sebuah pulau kecil di Inggris yang terisolasi, tempat para penyintas hidup dalam karantina ketat, jauh dari daratan utama yang masih dikuasai oleh Rage Virus yang telah berevolusi (saya pribadi langsung teringat akan anime Attack on Titan begitu melihat zombie jenis baru yang berevolusi di film ini. Apakah Danny Boyle terinpirasi dari sana?). Cerita berpusat pada Spike, seorang bocah berusia 12 tahun yang diperankan dengan luar biasa oleh Alfie Williams, dan ayahnya, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), yang mengajarinya cara bertahan hidup dengan memburu “yang terinfeksi”. Ketika ibunya, Isla (Jodie Comer), jatuh sakit karena penyakit misterius, Spike nekat melakukan perjalanan berbahaya ke daratan untuk mencari dokter eksentrik bernama Dr. Kelson (Ralph Fiennes). Perjalanan ini bukan hanya tentang bertahan dari zombie, tetapi juga tentang perjuangan seorang anak untuk menyelamatkan keluarganya, menemukan makna kematian, dan tumbuh dewasa di dunia yang tak lagi manusiawi.

Satu hal yang langsung mencuri perhatian adalah visual 28 Years Later. Danny Boyle, bersama sinematografer Anthony Dod Mantle, menghadirkan dunia pasca-apokaliptik yang begitu nyata dan mencekam. Penggunaan iPhone 15 Pro Max untuk beberapa adegan, termasuk teknik “poor man’s bullet time” dengan 20 kamera, menciptakan momen aksi yang dinamis dan inovatif. Warna-warna kontras, seperti lanskap hijau Inggris utara yang berpadu dengan pencahayaan merah darah dalam adegan malam, memberikan nuansa brutal sekaligus artistik. Setiap frame terasa seperti lukisan horor yang hidup, membuat penonton merasakan keputusasaan dan kegilaan dunia yang digambarkan.

Akting para pemain adalah pilar kuat lainnya. Jodie Comer sebagai Isla menghadirkan kerapuhan sekaligus keteguhan seorang ibu yang berjuang demi anaknya. Aaron Taylor-Johnson, meski karakternya kurang mendapat penyelesaian mendalam, tampil intens dan penuh emosi. Namun, bintang sejati adalah Alfie Williams sebagai Spike. Dengan ekspresi polos namun penuh keberanian, ia berhasil menangkap esensi seorang anak yang dipaksa dewasa oleh dunia yang kejam. Ralph Fiennes sebagai Dr. Kelson menambah lapisan misteri dengan karakternya yang eksentrik namun penuh makna, terutama dalam adegan kuil yang puitis.

Musik oleh Young Fathers juga layak dipuji. Soundtrack berbasis gitar mereka menghadirkan nuansa kelam namun emosional, mengiringi setiap momen dengan sempurna, dari ketegangan hingga keheningan yang menghantui. Film ini juga berani keluar dari pakem film zombie klasik, memadukan horor dengan drama coming-of-age yang menyentuh. Hubungan antara Spike dan Isla menjadi jantung emosional, membuat penonton peduli pada nasib mereka di tengah kengerian.

Meski penuh kelebihan, 28 Years Later tidak lepas dari kekurangan. Babak pertama film ini begitu kuat dengan adegan kejar-kejaran dan ketegangan yang memukau, namun babak tengah terasa melambat. Pacing yang pelan ini, meski dimaksudkan untuk membangun emosi dan karakter, kadang membuat penonton kehilangan momentum. Bagi penggemar horor yang mengharapkan teror tanpa henti, pendekatan ini mungkin terasa kurang “nendang”.

Selain itu, sebagai bagian pertama dari trilogi baru, film ini diakhiri dengan cliffhanger yang membuat cerita terasa belum utuh. Karakter Jamie, misalnya, tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, meninggalkan beberapa pertanyaan yang mungkin akan dijawab di sekuel berikutnya, 28 Years Later: The Bone Temple. Evolusi virus Rage dan keberadaan “The Alpha” juga hanya disentuh sekilas, membuat penonton penasaran namun sedikit frustrasi karena kurangnya penjelasan. Film ini memang berdiri sendiri, tetapi terasa seperti pengantar untuk cerita yang lebih besar, yang mungkin menjadi kelemahan bagi mereka yang menginginkan pengalaman lengkap dalam satu film.

28 Years Later bukan hanya tentang zombie yang berlari kencang atau darah yang tumpah. Film ini mengeksplorasi tema kemanusiaan, kehilangan, dan evolusi. Melalui perjalanan Spike, kita diajak merenungkan makna kematian dan bagaimana manusia beradaptasi di tengah kehancuran. Virus Rage menjadi metafora untuk sifat liar manusia, sementara hubungan keluarga menawarkan secercah harapan di tengah keputusasaan. Pendekatan puitis dan absurd dalam beberapa adegan, seperti ritual di kuil Dr. Kelson, menambah kedalaman filosofis yang jarang ditemukan dalam genre horor.

28 Years Later adalah film yang berhasil memadukan horor, drama, dan visual memukau, namun terhambat oleh pacing yang tidak konsisten dan cerita yang belum tuntas. Bagi penggemar franchise 28 Days Later, film ini adalah kembalinya Danny Boyle dan Alex Garland dengan visi yang segar dan berani. Bagi penonton baru, cerita yang berdiri sendiri membuatnya tetap mudah dinikmati, meski menonton dua film sebelumnya akan menambah konteks. Jika kamu mencari film zombie yang lebih dari sekadar teror, melainkan pengalaman emosional yang menghantui, 28 Years Later adalah pilihan yang tepat. Namun, bersiaplah untuk menunggu sekuelnya untuk mendapatkan jawaban atas misteri yang ditinggalkan.

Rate: 7/10

Jadi, apakah kamu siap melangkah ke dunia yang hancur dan penuh makna ini? Tonton 28 Years Later di bioskop dan rasakan sendiri ketegangan serta keindahannya!

Informasi Tambahan

  • Sutradara: Danny Boyle
  • Penulis: Alex Garland
  • Pemeran: Jodie Comer, Aaron Taylor-Johnson, Alfie Williams, Ralph Fiennes
  • Durasi: 115 menit
  • Tanggal Rilis: 20 Juni 2025
  • Genre: Horor, Drama, Pasca-Apokaliptik

Lihat detail film di IMDb

Komentar